Kami pulang tepat saat waktu minum teh. Papa mengajaknya untuk minum teh bersama kami. Tapi dia menolak dengan halus, alasannya, dia ada janji dengan ayahnya untuk bertemu. ’Itu adalah keputusannya, aku tidak boleh kecewa’ pikirku.
Malam harinya, ponselku berdering pertanda ada pesan singkat baru. Tebakanku benar. Itu dari Geun Yoon. Dia menanyakan sesuatu yang membuatku segera membalas pesan singkatnya dengan kata ’ya’ ditambah dengan kalimat ’aku tidak akan terlambat lagi. Aku janji. Terima kasih’. Pesannya adalah:
Apa kau mau berjalan-jalan lagi untuk yang kedua kalinya? Aku akan mengajakmu ke tempat yang suka kukunjungi ketika aku berada di sini. Jika kau mau, aku akan menjemputmu jam 8 pagi.
Geun Yoon.
Paginya, aku sudah siap sebelum Geun Yoon menjemputku. Dia tersenyum ketika melihatku menunggunya dan aku segera masuk ke dalam mobilnya.
Kali ini, dia mengajakku mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Jepang. Dia memberitahuku sejarah-sejarah tentang Jepang dan sekitarnya. Setelah lelah berjalan-jalan, karena Geun Yoon ingin makan es krim, aku ikut dan menurut saja. Setelah selesai makan es krim, saat kami melewati pintu depan, kulihat seorang anak kecil sedang menangis. Aku mendekatinya dan mencoba bertanya padanya (dalam bahasa Jepang tentunya).
”Adik kenapa?”
”Aku terpisah dari mama” jawabnya sambil terisak.
”Terakhir kali, adik bersama dengan mama di mana?” tanyaku lagi.
”Di tempat pemesanan es krim. Tadi ramai sekali, sehingga aku terpisah dari mama” jawabnya.
Toko es krim itu cukup luas. Maklum, ini adalah toko es krim paling besar dengan es krim yang terkenal enak di daerah kota Tokyo. Luasnya lebih dari tiga mini market. Setiap harinya juga selalu ramai dikunjungi, terutama para turis asing. Jadi, jika tidak hati-hati, kita dapat terpisah dengan kerabat kita seperti anak ini.
”Lebih baik kita pergi ke bagian informasi saja” saran Geun Yoon yang sejak tadi ikut membantu menenangkan anak ini.
”Ide bagus Yoon! Ayo kita ke sana, dik. Kami akan membantumu sampai kamu dapat bertemu lagi dengan keluargamu” kataku sambil tersenyum.
”Terima kasih, kak” kata anak itu sambil mengusap air matanya.
Anak itu bernama Hitaru Moragami. Hitaru yang kini duduk di taman kanak-kanak, merupakan anak dari ibu seorang dosen yang mengajar di bidang teknologi di universitas terkenal. Ayahnya sudah meninggal saat Hitaru masih bayi karena kecelakaan. Dan dia hanya tinggal bersama ibunya. Dia anak tunggal.
Sekitar 10 menit kemudian seorang ibu terengah-engah menghampiri kami. Ternyata, ibu itu adalah ibu Hitaru.
”Terima kasih kalian telah menolong anak saya. Terimalah ini sebagai tanda terima kasih saya. Bukan jumlah yang banyak, tapi saya harap anda mau menerimanya” kata ibu Hitaru sambil menyerahkan kepada kami amplop berisi sejumlah uang. Matanya bersinar-sinar. Tampaknya, ia sangat senang dan terharu.
”Terima kasih bu. Tetapi kami membantu dengan ikhlas. Kami tidak mengharapkan imbalan” ucapku. Geun Yoon menanggapi dengan anggukan dan senyuman.
”Kalau begitu, saya ucapkan terima kasih banyak” kata ibu Hitaru. Hitaru meniru sikap ibunya tersebut. Setelah itu mereka pulang.
”Hitaru anak yang manis ya...” kata Geun Yoon di perjalanan menuju residence papa.
”Benar. Anak itu lucu sekali” kataku sambil menyipitkan mata dan tersenyum.
”Sama sepertimu” katanya cepat.
”Apa?” Aku tidak terlalu jelas mendengar perkataannya. Tapi, apakah telingaku tidak salah menangkap bahwa dia mengucapkan kalimat ’sama sepertimu’?
Malam itu, kami makan malam bersama. Dua keluarga. Keluargaku dan keluarga Geun Yoon. Seperti biasa, Geun Yoon selalu tampil manis dan tampan, juga keren. Lagi-lagi, aku ternganga dibuatnya. Hanya saja, kali ini tingkah lakuku diketahui olehnya. Aku dengan cepat menutup mulutku dan berusaha seperti biasa, santai.
Acara makan malam di awali dengan berdoa lalu berdansa bersama. Papa tidak ikut. Karena selain tidak mempunyai pasangan dansa, papa juga tidak bisa berdansa. Keluarga kami memasangkan aku dengan Geun Yoon. Aku merasa tidak enak dengan hal ini. Sedangkan Geun Yoon malah tersenyum.
Saat kami tengah berdansa, aku merasakan rasa yang membuatku tidak nyaman itu kembali. Aku melepaskan tangannya dari pinggangku, dan berlari. Aku segera berlari ke dapur dan mencari air mineral. Ternyata Geun Yoon mengikutiku. Dia mengambil gelas dan memposisikan gelas itu ke dekat kran, lalu memberikannya padaku. Aku lupa, kalau di Jepang, ada air yang sudah bisa dan aman untuk diminum.
”Minumlah yang banyak agar kau merasa lebih baik” katanya.
”Baik” ucapku.
”Wajahmu terlihat pucat. Apa kamu sakit?” tanyanya.
”Tidak” jawabku singkat.
”Ayo kita kembali. Acara makan malam belum selesai. Kau masih mampu, tidak, melanjutkan makan malam? Jika tidak, beristirahatlah” katanya tersenyum sembari meninggalkanku.
’Aku masih mampu tidak ya?’batinku. ’Apa yang harus kulakukan?! Karena setiap kali aku bersamanya, rasa ini pasti kembali. Oh ya, acara belum selesai. Aku tidak boleh mengecewakan papa’ kataku dalam hati, kemudian pergi dari tempat itu.
Untung, Geun Yoon dan keluarganya adalah orang-orang yang baik. Mereka mau memaafkanku atas perbuataanku tadi.
Geun Yoon mengajakku untuk pergi dari tempat itu dengan tujuan membakar marshmellow di tepi kolam renang (yang tidak jauh dari tempat makan malam). Aku tidak mungkin menolak tawarannya karena itu bisa saja membuat Geun Yoon sakit hati. Jadi, aku terima saja tawarannya.
”Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Geun Yoon saat kami mulai membakar satu persatu marshmellow.
”Tentu saja. Ada apa?” ucapku.
”Kamu mengidap suatu penyakit ya, yang mengharuskan kamu minum banyak air putih? Jika iya, lain kali aku akan menyediakan banyak air putih untukmu” katanya.
”Aku,..” Aku bingung harus menjawab apa. Tepat saat aku akan berkata jujur padanya, ponsel Geun Yoon berdering.
”Maaf, aku harus mengangkat telepon ini dulu” katanya sambil pergi meninggalkan tempat.
Huh... aku lega sekali. Aku terus berpikir apa jawabanku jika dia menanyakan hal itu lagi sambil mengawasi dan membolak-balik marshmellow supaya tidak gosong.
Beberapa saat kemudian dia kembali. Hatiku semakin kacau rasanya. Rasa itu kembali ditambah dengan rasa gugup. Tangan dan kakiku dingin. Aku dapat merasakannya.
”Ayah dan ibu kita memanggil kita” katanya sambil tersenyum, menarik tanganku dan membawaku pergi kembali ke meja makan.
Rupanya, keluarga Geun Yoon mohon pamit. Salah satu kerabat dekat mereka masuk rumah sakit. Mereka harus menjenguknya sekarang, karena setelah makan malam ini, ayah dan ibu Geun Yoon akan pergi ke Jerman. Mereka tidak memiliki waktu banyak, sehingga mereka harus menjenguknya sekarang.
Setelah mohon maaf, berpamitan dan pergi, aku segera pergi ke kamar. Hatiku terasa aneh dan janggal. Aku merasakan rasa itu hampir setiap kali aku melihat Geun Yoon tersenyum. Ada apa sih denganku?
Aku berusaha melupakan kejadian yang membuatku tidak nyaman, tidak menghiraukan rasa itu dan segera pergi tidur. Aku merasa tenang. Semoga aku merasa lebih tenang setelah beristirahat.
Aku bangun jauh lebih pagi dari biasanya. Aku berniat untuk berolahraga, lari pagi. Aku segera mempersiapkan diri, mengambil music player berserta head-set/ear phone-nya, dan mengendap-endap keluar residence. Tapi, di gerbang aku terpaksa menyerah dan berterus terang pada pak satpam (Tidak. Aku tidak sepenuhnya berterus terang. Aku akan berbohong sedikit ^^) karena selain gerbang depan dijaga dengan ketat, bagian dalam sebelum gerbang, terdapat lapisan sinar laser yang akan berbunyi ketika seseorang yang melewatinya. Sinar laser itu berwarna kehitaman dan hanya dinyalakan pada malam hari, sehingga tidak terlalu terlihat. Di dekat sinar laser, terdapat dua buah kotak. Kotak yang satu berada di sisi depan laser, yang satunya berada di sisi belakang. Jika ingin melewati sinar laser dan membuatnya tidak berbunyi, kita harus memasukkan kode pada kotak itu dengan cara menekan tombol yang ada di situ. Tidak ada yang tahu kode rahasia itu, kecuali papa dan beberapa satpam kepercayaan papa.
Aku mendatangi pos satpam pertama yang berada di belakang sinar laser tersebut. Aku mengetuk pintunya dan terdengar suara dari dalam. ”Siapa itu?”
Pak satpam membuka pintu dengan cepat dan mengarahkan tongkatnya tepat di depan wajahku. Ketika melihat wajahku, satpam itu segera menurunkan tongkatnya dan membungkuk seraya meminta maaf.
”Pagi-pagi begini, nona sedang apa?” tanya pak satpam.
”Tolong bukakan gerbangnya untukku. Oya, sinar lasernya juga. Tolong matikan sebentar atau masukkan kodenya. Aku ingin lari pagi” kataku.
”Tapi nona kan tahu sendiri. Nona tidak boleh keluar dalam keadaan sepi dan masih gelap begini tanpa ditemani. Bisa-bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ijinkan saya untuk memanggil beberapa pengawal untuk menemani nona.”
”Jangan!” cegahku. ”Jangan. Tidak perlu. Aku akan lari pagi dengan Geun Yoon, anak kenalan papa yang sering main ke sini itu, lho. Kan bapak sering melihatnya bersamaku tanpa ditemani orang lain. Berarti papa telah mengijinkanku bersamanya.”
”Mohon tunggu sebentar” kata pak satpam. Ia masuk ke pos nya dan melihat ke layar komputer yang dihubungkan dengan kamera tersembunyi/CCTV. Setelah memastikan di lingkungan luar gerbang tidak ada Geun Yoon, pak satpam menghubungi pos satpam depan dengan handy talky/walky talky (alat untuk berbicara dalam jarak cukup jauh. Seperti handphone, hanya saja alatnya lebih sederhana).
”Pos depan juga mengatakan bahwa tuan Geun Yoon tidak ada dan tidak menunggu anda” pak satpam menyimpulkan.
”Kami bertemu di perempatan sana” kataku mengarang.
Meskipun dari ekspresinya, aku dapat mengetahui bahwa pak satpam tidak percaya padaku, tapi, toh, pada akhirnya, beliau membukakan gerbang untukku.
”Terima kasih” ucapku sambil tersenyum. Sesampainya di luar, aku segera berlari, karena aku tahu pak satpam itu pasti akan memanggil beberapa bodyguard. Dugaanku benar. Aku mendengar langkah kaki orang lain. Langkahnya seperti tergesa-gesa. Tentu saja di perempatan depan tidak ada Geun Yoon. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Jika ketahuan aku sendiri, mereka pasti akan membuntutiku ke mana pun aku pergi. Di perempatan aku panik, mondar-mandir tak tentu arah. Rasa panikku bertambah ketika mereka berteriak memanggilku. ”Nona!” Huft,.. huft,.. apa yang harus kulakukan?!
Dari balik semak-semak, seseorang menarikku dan menutup mulutku. Aku terkejut dan hampir berteriak. Tapi orang yang menarikku mendahului mengatakan kalimat yang membuatku tenang dan tidak jadi berteriak. ”Jangan berteriak. Jika kau berteriak, kita akan ketahuan. Aku akan menemanimu. Jangan berteriak.” Saat itu dalam keadaan gelap aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi setidaknya aku bisa mengenali suaranya. Suara itu, suara Geun Yoon. Geun Yoon melepaskan tangannya yang mencengkeram tubuhku dan menutupi mulutku. Membiarkanku ikut melihat para pengawal mencari ke sana kemari. Setelah para pengawal pergi, kami segera keluar dari tempat persembunyian kami.
”Huh... terima kasih banyak Yoon...” ujarku sambil tersenyum. Dia membalas ucapan terima kasihku dengan senyuman hangat.
”Bagaimana kamu bisa berada di sini, Yoon?” tanyaku saat kami lari pagi bersama. Setelah kejadian tadi, Geun Yoon mengajakku untuk lari pagi bersamanya.
”Kamu sendiri bagaimana?” tanyanya.
”Aku hanya ingin lari pagi saja berolahraga. Merasa jenuh berada dalam kamar dan bangunan besar yang bagiku, membosankan,” jawabku. ”Bagaimana denganmu? Kamu belum bercerita mengenai hal ini padaku” lanjutku.
”Aku, sepertinya mengalami insomnia. Aku sulit tidur sejak kemarin malam. Tidurku tidak nyenyak, dan aku merasa tidak enak. Jadi, aku lari pagi saja.”
”Geun Yoon, bagaimana kau bisa menemukanku?”
”Kau tidak tahu ya? Oh ya, aku lupa kamu bukan orang rumah. Seluruh keluarga dan staffku sudah tahu aku suka lari pagi. Salah satu tempat yang kulewati setiap harinya adalah depan rumahmu. Kebetulan, pagi ini aku mendengar langkah orang saling berkejaran, aku bersembunyi dan ingin melihat apa yang sedang terjadi dan siapa yang saling berkejaran. Ternyata kau” katanya.
”Sekali lagi, terima kasih banyak ya...” kataku lagi.
”Bukan hal penting” ujarnya tersenyum.
”Itu sangat penting bagiku. Aku bisa lepas dari para orang suruhan papa itu membuatku sangat senang.”
”Saat kau bisa lepas dari mereka, itu membuatmu bahagia?” tanya Geun Yoon.
”Iya. Sangat.”
”Kalau begitu, aku akan lebih sering mengunjungimu. Melepasmu dari orang-orang itu” katanya sambil tertawa kecil.
”Kenapa kamu tertawa?” tanyaku heran.
”Bukan apa-apa” katanya.
Kenapa ya dia tertawa? Padahal kalau dia sering mengunjungiku, aku akan merasa sangat senang. Apa menurutnya, hal itu merupakan suatu hal yang lucu? Hmm,,.. ya sudahlah... tak apa.
Aku berlari mengikutinya, di sebelahnya. Aku tidak tahu kami sampai di mana, di jalan apa, aku tak tahu apa-apa. Aku sangat bergantung pada Geun Yoon. Jangan sampai aku tersesat dan terpisah dengannya...
Saat kami berolah raga, kami bertemu dengan Hitaru. Anak itu sedang bersama ibunya. Hanya saja ibunya sedang menjawab telepon. Ibu Hitaru melihat kami sedang berlari-lari. Beliau kemudian memanggil kami dan meminta tolong agar mau menjaga Hitaru kira-kira sampai sore nanti karena ada tugas keluar kota mendadak. Pengajaran sangat ketat, tidak mungkin membawa anak. Daripada dititipkan pada penjaga anak atau tetangga, beliau lebih mempercayai kami. Kami menerima tawaran itu, karena aku dan Geun Yoon sama-sama menyukai anak kecil. Hitaru juga kelihatannya sangat senang dapat bermain-main seharian dengan kami. Setelah itu, ibu Hitaru memohon pamit pulang. Kini, tugasku sepenuhnya menjadi penjaganya (tentu saja bersama Geun Yoon).
”Hitaru suka makan es krim?” tanyaku pada anak kecil itu.
”Tidak, kak. Maaf” katanya sambil menunduk.
”Ah, tidak apa-apa” kataku sambil tersenyum. Ini terdengar aneh. Hampir setiap anak menyukai es krim (sekalipun mereka sedang sakit, tapi mereka pasti akan mengatakan ’ya’).
”Kalau bubur bagaimana?” tanya Geun Yoon.
”Maaf, kak. Aku juga tidak suka bubur” kata Hitaru.
’Ini aneh...’ batinku.
Kami terus menyusuri kota Jepang, hingga Geun Yoon membuat keputusan.
”Kita bermain di taman bermain saja, yuk!”
Kali ini, Hitaru menjawab ’ya’.
Kami menghabiskan waktu di taman bermain. Geun Yoon terlihat asyik sekali bermain bersama Hitaru, sedangkan aku hanya mengawasinya. Menjelang sore, kami berhenti bermain.
”Kakak, aku lelah” kata Hitaru sambil menarik-narik baju Geun Yoon. Geun Yoon mengerti apa yang dia inginkan. Dia menggendong anak itu sambil melanjutkan perjalanan pulang.
”Ini,” kata Geun Yoon. ”Sesuatu yang pernah masuk dalam mimpiku, yang sampai saat ini ingin aku alami suatu saat nanti. Ternyata, aku bisa merasakannya lebih cepat dari dugaanku.”
”Harapan apa itu?” tanyaku padanya.
”Harapanku adalah,...”dia berhenti sejenak lalu mengecilkan suaranya. ”Berjalan bersama kekasihku, atau orang yang kucintai, sambil menggendong seorang anak, tidak peduli itu adalah anak orang lain. Tapi aku merasa menjadi seorang ayah.”
Kalimatnya membuatku terkejut. Spontan rasa itu datang kembali. Geun Yoon memandangku lekat-lekat. Aku segera memalingkan wajahku. Jantungku berdebar semakin cepat! Tuhan,.. tolong aku! Setelah puas memandangku, Geun Yoon mengacak lembut rambut Hitaru pelan. Aku merasa menjadi ibu dari Hitaru, dan Geun Yoon sebagai ayah, atau suamiku. Ini terdengar aneh. Aku pun merasa sangat aneh.
Saat kami hendak mengantar Hitaru pulang, kami bertemu dengan ibu Hitaru. Inilah saatnya menyerahkan Hitaru kembali pada ibunya. Sebelum berpisah, aku mencium kening Hitaru. Setelah itu, barulah kami pergi.
Di perjalanan, tangan Geun Yoon menggenggam erat tanganku. Aku merasa aneh karenanya. Tapi, hatiku merasa senang. Jadi, aku balas menggenggam erat tangannya.
Tiba-tiba perutku berbunyi tanda lapar. Ini memalukan sekali. Tapi Geun Yoon mengerti. Dia membawaku ke sebuah rumah makan. Karena kami sama-sama suka sushi, kami memilih makanan itu. Saat menunggu makanan dihidangkan, rasa aneh itu datang kembali. Tangan dan kakiku berubah menjadi sangat dingin. Aku merasa tidak enak badan. Ketika aku hendak menyampaikan hal mengenai keadaanku ini, makanan yang kami pesan datang. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya.
Sayang sekali, yang tersedia hanya sumpit. Padahal, aku belum terlalu bisa menggunakan sumpit. Di tambah dengan keadaanku yang seperti ini (selama ini, jika aku makan sushi, aku selalu menggunakan sendok dan garpu). Tanganku gemetaran. Jadi, ketika aku berusaha ’menyumpit’ sushi-nya, sushi yang kusumpit selalu jatuh dan tidak pernah sampai mendarat di mulutku. Geun Yoon yang memperhatikanku sejak tadi segera membuat tindakan. Dia ’menyumpit’ makananku menggunakan sumpitnya, kemudian menyuapkannya padaku. Aku merasa malu, senang, dan,... yang jelas rasa ini bermacam-macam dan belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku berusaha menyumpit makanan Geun Yoon dengan sumpitku dan memasukkannya ke dalam mulutnya, dan ternyata berhasil!
Setelah kejadian itu, kami saling menyuapi satu sama lain. Pengalaman ini adalah yang tersulit untuk dilupakan. Saat perjalanan pulang, aku memikirkan hal tentang rasa itu. Aku hanya dapat menelan ludah ketika mengingat beberapa kalimat dalam curhatan sahabatku. ”Aku merasakannya ketika bertemu dan berdekatan dengannya. Rasa itu adalah rasa yang aneh disertai detakan jantung yang tidak wajar. Aku mengalaminya, dan ketika aku bertanya pada kakakku, rasa apa itu, dia menjawab itu cinta”. Aku melihat wajah Geun Yoon, dan dia juga melihatku, sambil tersenyum, dia merangkulku. Sebagai balasan, aku melingkarkan salah satu tanganku ke pinggangnya. Ini sangat lucu, bagiku.
Di jalan raya di depan (cukup jauh dari kami) aku melihat Hitaru berlari-lari. Ibunya dari belakang mengejarnya sambil berteriak : ”Tunggu!”
Sesampainya di tengah jalan, Hitaru berhenti sebentar. Dia tidak melihat kami. Malam itu sudah sangat larut, sehingga tidak ada kendaraan lewat. Suasananya sepi sekali. Tiba-tiba dari arah lain, sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Geun Yoon dengan cepat menarik tubuhku dengan lengannya dan memelukku. Suara itu,.. itu,..
Aku berusaha melepas pelukan Geun Yoon dan dia melepaskannya. Satu persatu bulir air mata jatuh dari mataku. Aku tidak bisa membendungnya lebih lama lagi. Kenapa tidak bisa? Jelas-jelas Hitaru kecelakaan! Terlihat sekali bahwa yang mengemudi mobil yang menabrak Hitaru adalah orang mabuk. Dia segera melarikan diri setelah menabrak Hitaru. Ibunya menangis tersedu-sedu di samping anaknya. Dengan lemas, aku mendekati Hitaru, Geun Yoon mengikutiku dari belakang. Aku terkejut saat mendekati jenasahnya. Aku berlutut di samping Hitaru. Kakiku lemas sekali. Satu kata yang membuat aku menjatuhkan bulir air mataku untuk yang kesekian kalinya ketika Hitaru mengucapkan kata ”maaf” untuk yang terakhir kalinya, sebelum dia benar-benar tidak ada. Geun Yoon berada di sebelahku, dan aku menggunakan kesempatan itu untuk bersandar padanya sambil menangis.
”Aku tidak percaya ini” kataku sambil terisak.
”Aku juga tidak percaya” katanya.
Aku tidak percaya karena...
Ternyata Hitaru adalah sebuah robot android! Jadi, selama ini, aku bermain bersama robot android?! Anak yang kuanggap seperti anakku sendiri adalah sebuah robot?! Aku tidak percaya...
Setelah puas menangis, aku dan Geun Yoon membantu ibu Hitaru untuk membawa robot Hitaru ke rumah ibu itu sebelum diketahui orang lain.
Sesampainya di rumah, kami berusaha menenangkan ibu Hitaru. Ketika dia sudah mulai tenang, dia mulai menceritakan segalanya pada kami. ”Sebenarnya, Hitaru sudah meninggal 2 tahun yang lalu karena sakit. Saya merasa kesepian karena suami saya juga sudah tiada. Suami saya pergi meninggalkan saya pada saat Hitaru lahir. Saya tidak kuat menjalani hidup ini sendiri, saya tidak ingin mereka pergi secepat itu. Saya sangat menyayangi Hitaru, jadi saya temui teman saya untuk membuat robot android tiruan Hitaru. Sekarang tiruan Hitaru pun hilang lagi karena kelalaian saya. Mengapa semuanya salah saya?” katanya sambil terus menangis. Aku terharu juga sehingga ikut menangis. Saya tidak pernah berpikir hidup tanpa ayah atau papa. Sedangkan Hitaru, dia mengalaminya. Aku tidak tahu, betapa beruntungnya aku selama ini. Aku memiliki orang tua yang baik terutama papa. Kenapa aku sering merasa sedih dan kesepian? Padahal ada banyak hal yang dapat kurasakan yang tidak sempat dirasakan oleh Hitaru.
Setelah memastikan ibu Hitaru tidak apa-apa, kami pamit untuk pulang. Geun Yoon akan menemaniku sebentar. Setelah sampai di rumah, kami segera duduk di rumput empuk di taman. Aku bersandar padanya dan menangis lagi. Dia mengusap-usap rambutku dan mencium keningku. Tindakannya itu membuatku kaget dan berhenti menangis.
”Maafkan aku,” ujarnya. ”Aku memelukmu tadi, kau tidak sempat menolong Hitaru.
”Tindakanmu justru membuatku lebih baik. Jika kau tidak memelukku, aku akan melihat kejadian tragis itu, dan hatiku pastilah lebih sakit dari ini. Usahaku untuk menghindarkan Hitaru dari kecelakaan itu pastilah juga tidak akan pernah tersampaikan. Jarakku dengannya cukup jauh. Tidak akan bisa sampai tepat waktu” ucapku.
Dia kembali mengusap rambutku.
Aku membuka mataku dan memandang ke sekelilingku. Aku sudah berada di kamar! Apa yang terjadi ya semalam? Untuk memastikan (bahwa aku baik-baik saja), aku segera keluar kamar dan pergi ke taman tempat kami semalam berdua. Aku menemukan Geun Yoon di sana sedang menyeruput teh hangat.
”Geun Yoon, apa yang terjadi denganku semalam?” tanyaku tiba-tiba, membuatnya sedikit terkejut. Akibatnya, teh yang diminumnya, tumpah ke bajunya.
”Kenapa memang? Kamu tertidur dalam rangkulanku. Jadi, aku angkat, maksudku gendong kamu ke kamarmu saja” jawabnya tenang.
”Kamu tidak berbuat yang aneh-aneh, kan?” tanyaku sedikit panik.
”Aku berbuat sesuatu,” Aku panik sekali mendengar kalimatnya itu.
”Aku mengecup keningmu lagi dan mengucapkan selamat malam padamu. Dan tentu saja aku pergi. Tidak mungkin, kan, aku berada dalam kamarmu terus. Nanti, kamu bisa berpikir yang tidak-tidak. Aku tidak ada di kamarmu saja, kamu sudah sepanik ini. Bagaimana jika aku berada di dalam kamarmu? Kau bisa dua kali lipat lebih panik dari ini” katanya sambil berdiri, kemudian mengacak-acak rambutku.
Geun Yoon mengetahui bahwa hatiku masih sedih dan terluka atas kejadian kemarin, sehingga dia mengajakku berjalan-jalan dengannya. Kami menikmati hari itu bersama, dan aku harap kami bisa menikmati hal-hal seperti ini sesering mungkin. Karena apa? Dia selalu dapat membuatku senang dan tertawa. Sifatnya yang kadang bisa ceria, kadang bisa tenang, selalu mengubah perasaanku menjadi lebih baik. Dan ketika kharismanya mulai keluar, gantilah diriku terpana dibuatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar